Artikel Terkait:
Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang (I)
Sabtu, 8 Agustus 2009 16:06 WIB
KOMPAS.com - Perkembangan dalam sistem pendidikan Jepang modern, yang sebetulnya sudah dimulai semenjak akhir Perang Dunia II membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi negara ini, memungkinkan hampir seratus persen warganya bisa mengenyam pendidikan dasar dan tercatat 90 persen dari orang muda Jepang berkesempatan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan menengah atas.
Disinilah fenomena ujian masuk menjadi suatu mekanisme utama guna menyalurkan para siswa muda tersebut. Namun karena tidak semua siswa berhasil, baik itu berhasil menjadi siswa dari sekolah yang mereka impikan atau bahkan berhasil untuk lulus ujian masuk sekalipun, maka “Yutori Kyoiku” mulai dicetuskan terlebih guna membuat para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran yang selama ini mereka alami.
Kemudian kurikulum 2002 disahkan menjadi kurikulum nasional yang telah direvisi dari kurikulum sebelumnya serta disesuaikan dengan semangat “Yutori Kyoiku”. Muatan pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30 persen. Ini berpengaruh pada jumlah jam tatap muka guru dan siswa, termasuk untuk bidang studi matematika dan IPA dari 175 jam di tahun 1977 menjadi 150 jam di tahun 1998. Kebijakan ini selanjutnya mempengaruhi juga hari efektif sekolah yang berkurang dari 6 hari menjadi 5 hari.
“Yutori Kyouiku” juga memberi kesempatan bagi siswa kelas 3 sekolah dasar sampai dengan kelas 12 sekolah lanjutan untuk mengalami proses belajar di luar kelas, melalui program yang dikenal sebagai program terpadu (sogotekina gakushu). Tujuan utama program ini memberi kesempatan para siswa untuk belajar mandiri serta berpikir kritis.
Nilai hasil belajar tinggi yang mereka peroleh di kelas akan menjadi mubazir apabila mereka tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, atas kerjasama dengan pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat, anak-anak sekolah dalam waktu-waktu tertentu dilibatkan dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. Melalui keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka dengan berbagai pertanyaan kritis. Hasil penelitian itu selanjutnya akan mereka catat dan presentasikan sebagai kesimpulan dari proses belajar.
Poin yang ingin digarisbawahi melalui program ini, bahwa proses belajar tidak hanya terbatas dalam lingkup sekolah saja. Memang sekolah diakui sebagai tempat pertama pengembangan aspek kognitif siswa, namun lingkungan di luar sekolah pun sama pentingnya, terutama sebagai ajang pembelajaran dan pengembangan aspek psikomotorik serta afektif mereka. Kesinambungan antar semua proses belajar ini akan membawa para siswa untuk memiliki “kemampuan baru” dan hal ini oleh kementrian pendidikan dijadikan batu pijakan reformasinya menuju suatu visi pendidikan ke depan.
Prinsip ini berusaha menjawab permasalahan yang dikritik sebelumnya tentang superioritas sekolah yang terlalu besar serta kaku. Sebelumnya pendekatan tradisional sekolah inilah yang disinyalir membuat para siswa pasif dengan lebih menekankan kemampuan siswa untuk mengingat fakta daripada membimbing mereka untuk berpikir serta berkreasi.
Apakah reformasi pendidikan di negeri asal Mushashi ini bisa berlangsung dengan lancar? Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa berbagai perdebatan sengit muncul seiring dengan diterapkannya kebijakan baru ini. Beberapa pihak mengkritik hasil ujian Matematika dan Ilmu Alam menurun sejak dibuatnya program yang membuat siswa lebih rileks dalam menjalani proses pendidikannya dan ini dinilai sebagai suatu kemunduran. Namun MEXT sendiri menanggapi bahwa fenomena hasil itu bukanlah suatu kemunduran tapi refleksi terhadap suatu proses. Lebih lanjut beberapa ahli yang mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri.
Para pengajar dan orang tua pun mengalami dampak langsung dari aplikasi “Yutori Kyoiku” ini. Banyak staf pengajar juga awalnya cukup kelimpungan dengan sistem baru ini. Selain karena sistem ini seakan memutarbalikkan haluan yang selama ini sudah mereka telusuri secara nyaman, tuntutan pengembangan pola berpikir kritis menjadi tugas baru yang besar, di luar tugas utama mereka untuk tetap menjadikan para siswanya mahir dalam kemampuan pendidikan dasar.
Namun sebagian besar dari para pengajar ini mensyukuri kehadiran sistem baru ini beserta metode terpadunya karena mereka melihat para murid menjadi lebih termotivasi dengan apa yang ingin mereka tekuni. Lebih lanjut, para pengajar pun punya kesempatan lebih luas untuk mendalami konsep-konsep mengajar dengan adanya pengurangan waktu tatap muka tersebut.
Lalu bagaimana dengan pandangan orang tua? Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan MEXT pada tahun 2003, diketahui bahwa hanya sebagian dari orang tua yang menyadari keberadaan sistem yang baru ini, namun kebanyakan dari mereka belum mengenal baik spesifikasi pada reformasi sistem ini. Mungkin hanya sekitar 20 persen dari mereka yang sudah mencermati dan mengerti sampai pada tujuan diterapkannya sistem ini. Akan tetapi bagi para orang tua yang memiliki tingkat mobilitas tinggi, keberadaan sistem ini akan membuat mereka lebih nyaman untuk membawa serta anak-anak ke tempat mereka bertugas, karena tuntuntan sekolah setempat tidak lagi seketat dan sekaku sebelumnya.
Akhir kata, sistem pendidikan Jepang modern yang dimulai setelah perang dunia II ini memang dirancang untuk sebuah negara dengan perkembangan modernisme yang tinggi. Selama ini sistem pendidikan di Jepang dianggap sukses dan efesien dalam mengajarkan para siswanya dan menjadikan mereka berprestasi, namun semua itu ternyata belum cukup. MEXT dan para ahli pendidikan jaman ini menegaskan apabila pendidikan hanya ditekankan guna menyiapkan siswanya untuk duduk pada ujian masuk, ditambah dengan beban sejumlah besar muatan kurikulumnya akan menumpulkan minat belajar mereka. Untuk menjawab tantangan ini, berbagai upaya guna penerapan pola berpikir kritis, aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata serta metode “hands-on learning” menjadi tren yang baru di negeri ini.
Di balik semua itu apa hikmah yang bisa kita ambil buat sistem pendidikan di negara kita? Memang sistem pendidikan di negara kita mungkin tidak sekaku apa yang terjadi di Jepang, tapi bagaimana dengan konsistensi, efisiensi dan efektifitas dari proses itu sendiri? Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis kebijakan, tapi juga semua aspek termasuk guru dan orang tua siswa. Walau lain lubuk memang lain belalangnya, namun semoga informasi ini bisa menggugah semua pihak yang berkecimpung atau tertarik dengan sistem pendidikan nasional Indonesia.
Christianus I Wayan Eka, MA, asisten pengajar pada Faculty of Policy Studies and Faculty of Information Sciences and Engineering, Nanzan University, Japan
Comments